Selasa, 24 Mei 2011

AKUNTANSI BAGI PERUBAHAN HARGA (INFLASI)

AKUNTANSI BAGI PERUBAHAN HARGA
(INFLASI)

Akuntansi bagi perubahan harga secara khusus berhubungan erat dengan manajer-manajer perusahaan multinasional karena tingkat inflasi bervariasi secara substansial antar suatu negara dengan negara lainnya.

PERSPEKTIF INTERNASIONAL TERHADAP AKUNTANSI INFLASI

Pengkajian mengenai tanggapan dari negara – negara tertentu atas akuntansi bagi perubahan harga, berguna dalam menilai tren yang sedang berlangsung serta tren dimasa yang akan datang.

Tanggapan AS
Dalam ketetapan-ketetapan paling baru mengenai perubahan harga, FASB telah memutuskan untuk menganjurkan, tetapi tidak lagi mewajibkan, entitas-entitas pelaporan AS untuk mengungkapkan informasi biaya historis-daya beli konstan atau biaya berjalan-daya beli konstan. Sangat disesali, bahwa keputusan untuk menghilangkan keharusan dalam mengungkapkan informasi perubahan harga, akan melepaskan banyak momentum dan pengalaman yang telah dikumpulkan FASB selama uji-coba 5 tahun.
Operasi luar negeri. Pedoman-pedoman pengungkapan yang ditawarkan oleh FAS No.89 juga mencakup operasi-operasi luar negeri yang dimasukkan dalam laporan konsolidasi perusahaan-perusahaan induk AS. Untuk tetap sejalan dengan kerangka biaya berjalan yang ekivalen disesuaikan dengan inflasi luar negeri dan kemudian ditranslasikan kedalam dolar AS (restate-translate method)? Atau, haruskah perkiraan-perkiraan tersebut ditraslasikan ke dolar dan kemudian disesuaikan dengan inflasi AS (translate-restate method)?
Perusahaan-perusahaan yang mengadopsi dolar sebagai valuta fungsional untuk mengukur operasi mereka, memandang operasi ini dari perspektif perusahaan induk. Karenanya, translate-restate method direkomendasikan. Perusahaan-perusahaan multinasional yang mengadopsi valuta lokal sebagai valuta fungsional untuk sebagian besar operasi mereka pada dasarnya memandang dengan perspektif valuta lokal. Walaupun hal ini logikanya mengharuskan dipakainya restate-translate method.



BIDANG –BIDANG PERMASALAHAN

Inflasi merupakan fenomena yang terus berulang, mengapa para akuntan meluangkan terlalu banyak waktu pada isu akuntansi perubahan harga? Jawabannya adalah untuk merumuskan akuntansi –inflasi yang efektif dan komprehensif.
Dari banyak isu ini berkaitan dengan masalah translasi valuta asing yang telah di bahas sebelumnya. Misalnya restatement tingkat harga maupun translasi valuta asing memiliki masalah yang umum, keduanya memiliki masalah yang sama dengan metodologi restatement dan keduanya menghadapi dilema dalam mengklasifikasi dan memperlakukan keuntungan atau kerugian yang dihasilkan restatement. Tetapi persamaan tersebut hanya terlihat dipermukaan saja, tidak benar-benar nyata. Maksudnya adalah pertimbangan akuntasi teoritis yang dipakai dalam kedua proses tidak sama. Translasi valuta asing sebagian besar adalah masalah unit perkiraan (unit pengukuran). Penyesuaian tingkat harga terutama berkenaan dengan perbedaan antara modal dan laba, sehingga implikasinya kebanyakan berkaitan dengan penilaian (proses pengukuran)
Efek-efek spesifik di kedua proses tersebut juga berbeda. Perkiraan kas yang di translasikan dari satu valuta ke valuta lain tidaklah problematis, sementara penyesuaian tingkat harga dari perkiraan kas adalah problematis. Perkiraan-perkiraan historis yang telah ditranslasikan secara benar dari satu valuta ke valuta lain tidak ototmatis telah disesuaikan dengan tingkat harga karena kurs valuta asing jarang berkorelasi negatif secara sempurna dengan perubahan tingkat harga dan seperti yang perkiraan-perkiraan tunggal dalam neraca mungkin dapat disesuaikan dengan sempurna terhadap efek inflasi. Pada sisi lain, translasi valuta asing yang telah di sesuaikan dengan inflasi dapat mengakibatkan “pembebanan ganda” untuk inflasi.
Dengan mengingat perbedaan ini kita akan mengkaji empat isu akuntansi inflasi yang telah terbukti menyulitkan para akuntan. Ke empat isu tersebut adalah
* Persoalan apakah dolar konstan atau biaya berjalan menyediakan efek-efek inflasi yang lebih baik,
* Perlakuan akuntansi atas “keuntungan dan kerugian inflasi”,
* Akuntansi bagi inflasi luar negeri dan
* Pencegahan fenomena “double-dip”
Untuk membatasi lingkup pembahasan isu satu dibahas bersama dengan isu tiga.

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN INFLASI

Perlakuan keuntungan dan kerugian dari item-item moneter yaitu kas piutang dan utang merupakan isu yang kontroversial. Di Amerika, keuntungan dan kerugian dari item-item moneter ditentukan dengan me-restate ke dalam dolar konstan, saldo awal dan akhir dari, atau transaksi dalam, semua aset dan kewajiban moneter termasuk hutang jangka panjang. keuntungan atau kerugian tersebut tidak di masukkan dalam laba tetapi diungkapkan dalam item terpisah yang berdiri sendiri. Ini menyiratkan bahwa FASB memandang keuntungan dan kerugian dalam item moneter berbeda sifatnya dengan laba-laba lain.
Di inggris, keuntungan dan kerugian atas item moneter dipisahkan menjadi modal kerja dan gearing adjustment. Kedua jumlah tersebut berkaitan dengan perubahan tingkat harga spesifik, bukan perubahan tingkat harga umum. Mendasari modal kerja moneter, dasar pemikiran berikut di berikan SSAP no.16 paragraf 11-13 : ketika penjualan dilakukan secara kredit perusahaan sebenarnya mengikat modal kerja sampai piutang terkait ditagih. Sebaliknya ketika persediaannya dan perlengkapan lain dibeli secara kredit, perubahan harga spesifik yang berkaitan dengan item ini pada dasarnya dibiayai oleh pemasok selama kredit. Sehingga modal kerja dari pemebeli bebas digunakan bagi keperluan lain. Karena fenomena ini berhubungan dengan persediaan, keduanya dihitung dengan menggunakan indeks harga spesifik yang sama dan dipandang sebagai perluasan dari penyesuaian penjualan biaya berjalan untuk menghasilkan laba operasi yang telah disesuaikan.
Gearing adjustment mengindikasikan keuntungan atau biaya bagi pemegang saham dari pembiayaan hutang selama periode perubahan harga. Angka ini ditambah (dikurang) terhadap laba operasi biaya berjalan untuk menghasilkan ukuran kekayaan yang dapat dibelanjakan (disposable wealth) bernama laba biaya berjalan bagi pemegang saham (Current Cost Profit Attributable to Shareholders). Tetapi di negara Brazil tidak menyesuaikan aktiva lancar dan kewajiban lancar secara eksplisit karena jumlah ini diekspresikan dalam nilai berjalan. Penyesuaian yang timbul dari menghitung nilai bersih aset-aset permanen dan modal yang telah disesuaikan dengan tingkat harga yang mewakili keuntungan atau kerugian daya beli umum dalam membiayai modal kerja dengan hutang atau modal. Penyesuaian aset permanen yang melebihi penyesuaian modal kerja mencerminkan porsi aset permanen yang dibiayai dengan hutang, sehingga menghasilkan keuntungan daya beli. Sebaliknya, penyesuaian modal kerja lebih besar daripada penyesuaian aset permanen menunjukkan porsi modal kerja yang dibiayai oleh modal. Bagi porsi modal ini diakui adanya kerugian daya beli selam periode inflasi.

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PEMILIK

Ciri utama dari akuntansi nilai sekarang adalah pemebagian laba total ke dalam dua bagian yaitu laba operasi yang mencerminkan perbedaan antara pendapatan berjalan dan biaya berjalan dari sumber daya yang dikonsumsi dan keuntungan pemilikan yang belum direalisir yang timbul dari pemilikan sate nonmoneter yang replacement value-nya naik selama periode inflasi.
Penulis berpendapat bahwa peningkatan dalam replacement cost dari aset operasi tidak mewakili keuntungan yang terealisasi maupun yang tidak terealisasi. Sementara laba berbasis biaya berjalan merupakan ukuran kira-kira (disposable wealth), peningkatan atau penurunan biaya berjalan persediaan, pabrik dan peralatan dan aset-aset operasi lainnya merupakan revaluasi atas modal yang mencerminkan porsi laba yang harus ditahan untuk mempertahankan modal fisik atau kapasitas produksi perusahaan. Aset yang disimpan karena spekulasi seperti tanah kosong, surat-surat berharga tidak perlu digantikan untuk mempertahankan kapasitas produktif. Dengan demikian seandainya penyesuaian biaya berjalan memasukkan item ini, peningkatan atau penurunan dalam biaya (nilai) berjalan yang ekivalen (tidak melebihi nilai realisasinya) harus dicerminkan secara langsung dalam laba yang sifat dan sumbernya diterapkan dengan benar.

AKUNTANSI BAGI INFLASI LUAR NEGERI
Semua metode translasi yang pernah di bahas di bab sebelumnya pada dasarnya mengabaikan efek-efek inflasi luar negeri dalam proses konsolidasi. Untuk mengatasi kelemahan ini, beberapa penulis menganjurkan restatement saldo valas untuk mencerminkan perubahan dalam daya beli lokal dari unit valas kemudian mentranslasikan hasilnya ke dalam valas domestik yang ekivalen. Keuntungan-keuntungan pokok dari usulan “restate-translate” adalah sebagai berikut :
1. Usulan tersebut memungkinkan pembaca laporan keuangan untuk menilai hasil-hasil operasi biasa dalam kaitannya dengan valas lokal serta efek-efek inflasi terpisah dari hasil operasi ini.
2. Memungkinkan manajemen untuk mengukur dengan lebih baik kinerja dari suatu anak perusahaan sesudah penyesuaian dilakukan untuk “memelihara” aset-aset keuangan anak perusahaan.
3. Memungkinkan manajemen untuk mengevaluasi kinerja anak perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan tempat aset-aset anak perusahaan tersebut berada.
4. Memungkinkan manajemen untuk memastikan seluruh efek dari setiap devaluasi valas terhadap hasil operasi anak perusahaan jika devaluasi terjadi.

Kritik terhadap pendekatan restate-translate mengemukakan bahwa metode ini menghasilkan suatu unit pengukuran yang mencerminkan multiple standard yang berkaitan dengan daya beli umum. Misalnya, sebuah perusahaan induk di AS yang mengkonsolidasikan hasil operasi dari 10 anak perusahaannya di luar negeri (laju inflasinya berbeda-beda) akan menghasilkan laporan keuangan dalam dolar AS. Jumlah dolar tesebut mencerminkan daya beli dari 10 negara berbeda. Hal ini tidak diinginkan oleh pembaca laporan keuangan di AS karena kurs valas mengandung unsur inflasi, intinya inflasi lokal di catat dua kali dalam metode “restate-translate”.
Para kritikus restate-translate mendukung penerapan apa yang dinamakan pendekatan translate-restate. Berdasarkan proses ini, perkiraan-perkiraan luar negeri terlebih dahulu ditranslasikan ke dalam valuta perusahaan induk dan kemudian di-restate ke dalam daya beli umum domestik yang ekivalen.
Para pendukung pendekatan translate-restate mengemukakan bahwa adalah lebih mudah bagi perusahan induk untuk mentranslasikan semua operasi luar negeri ke dalam unit valuta domestik dan kemudian melakukan sekali saja restatement inflasi daripada me-restate perkiraan –perkiraan inflasi di masing-masing negara. Selain itu, metode translate-restate tidak hanya memperlihatkan efek perubahan kurs valas terhadap laporan keuangan tetapi juga mengungkapkan efek inflasi domestik terhadap potensi pengembalian bagi investor domestik. Intinya, perkiraan konsolidasi yang disiapkan sesuai dengan metode translate-restate diekspresikan dalam standar pengukuran tunggal yaitu, dolar daya beli domestik
Prosedur penyesuaian tingkat harga yang menurut penulis tepat yaitu :
1. restate laporan keuangan dari semua anak perusahaan, baik domestik maupun yang di luar negeri, serta laporan keuangan perusahaan induk, untuk mencerminkan perubahan harga spesifik misalnya biaya berjalan.
2. Translasi semua perkiraan perusahaan anak di luar negeri ke dalam valuta domestik yang ekivalen dengan menggunakan konstanta misalnya kurs berjalan atau kurs tahun dasar.
3. Dalam menghitung keuntungan atau kerugian moneter, harus dipakai indeks-indeks harga spesifik yang relevan dengan konsumsi barang dan jasa perusahaan. Perspektif perusahaan induk akan meminta pemakaian indeks harga domestik; perspektif lokal akan meminta indeks harga spesifik luar negeri.
Me-restate kedua perkiraan domestik dan luar negeri ke dalam harga berjalan spesifik yang ekivalen menghasilkan informasi yang relevan dengan keputusan. Informasi ini menyiratkan jumlah maksimum arus deviden potensial yang realistis bagi para investor dan memudahkan prediksi arus kas masa depan.selain itu tugas membandingkan hasil-hasil konsolidasi dari semua perusahaan akan menjadi lebih mudah.

PENCEGAHAN TERJADINYA “DOUBLE-DIP”

Pada saat me-restate perkiraan-perkiraan luar ngeri untuk memperhitungkan inflasi luar negeri, kehati-hatian harus dijaga untuk mencegah fenomena “double-dip”. Masalah ini timbul dari fakta bahwa inflasi lokal memberi dampak langsung pada kurs yang digunakan dalam proses translasi. Walaupun ahli ekonomi umumnya mengasumsikan suatu hubungan terbalik antar laju inflasi internal suatu negara dengan nilai eksternal valutanya, bukti-bukti memperlihatkan bahwa hubungan seperti ini jarang terjadi, paling tidak dalam jangka pendek. Oleh karenanya besarnya penyesuaian yang dilakukan untuk menghilangkan fenomena penghitungan ganda akan bervariasi tergantung pada kadar korelasi negatif antara kurs dengan perbedaan inflasi.
Penyesuaian inflasi terhadap harga pokok penjualan dan beban depresiasi dirancang untuk menekan laba “seperti yang dilaporkan” agar tidak terjadi overstatement laba.meskipun begitu, akibat hubungan negatif antara inflasi lokal dan nilai valuta, perubahan kurs antara laporan keuangan yang lain yang berurutan, yang pada umumnya diakibatkan oleh inflasi (paling tidak selama satu periode tertentu), akan menyebabkan perusahaan merefleksikan paling tidak sebagian dampak inflasi (yaitu penyesuaian translasi valuta), dalam laba “seperti dilaporkanya”. Jadi untuk mencegah penghitungan inflasi ganda, kerugian translasi yang telah tercermin dalam laba “seperti yang telah dilaporkan” sebuah perusahaan harus diperhitungkan sebagai bagian dari penyesuaian inflasi.
Penyesuaian di atas relevan untuk perusahaan multinasional yang berbasis di AS karena telah mengadopsikan dolar sebagai valuta fungsional operasi luar negeri berdasarkan FASB No.52 dan yang mentranslasikan persediaan dengan menggunakan kurs berjalan. Sedangkan bagi perusahaan yang berbasis di Eropa kecendrungannya ke arah penggunaan metode translasi kurs berjalan. Sehingga tanpa adanya penyesuaian maka bisa berakibat laba yang terlalu rendah atau laba terlalu tinggi karena inflasi luar negeri dihitung dua kali.
Contoh : akuntansi persediaan berikut ini memperlihatkan hubungan antara inflasi dan translasi valas. Perusahaan yang dimaksud mempergunakan metode penilaian FIFO dan mentranslasikan persediaan ke dalam dolar dengan memakai kurs berjalan. Asumsi :
* Inflasi negara lokal selama satu tahun sebesar 20%
* Inflasi AS selam tahuntersebut 6%
* Kurs awal 1 januari adalah LC1 = $1
* Kurs penutup 31 Desember LC1 = $0,88
* Devaluasi valuta selama tahun tersebutuntuk mempertahankan paritas daya beli adalah 12%
* Persediaan valuta lokal adalah LC 200 pada tanggal 1 Januari dan LC 240 pada tanggal 31 Desember
* Tidak ada perubahan dalam kuantitas fisik persediaan selam tahun tersebut.



Dolar ekivalen dari persediaan di atas dari prsedaiaan awal dan akhir adalah

Jumlah LC
Kurs
Jumlah $
Persediaan FIFO 1 Jan
200
LC1 = 1$
$200
Persediaan FIFO 31 Des
240
LC1 = $0,88
$211

Laba seperti yang dilaporkan akan mencerminkan kerugian translasi sebesar $29, selisih antara translasi persediaan LC240 kurs 31 Desember $0,88 dengan kurs $1,00. Selama periode turnover persediaan berikutnya, HPP akan sebesar LC240 dalam valuta lokal; $211 dalam dolar. Jika biaya penjualanharus disesuaikan terhadap inflasi dalam metode restate-translate perusahaan tersebut mungkin melakukan langkah langkah berikut :
* Mengeluarkan 20% inflasi tahun tersebut dari persediaan lokal 31 Desember (240/1.2) sehingga menjadi LC200 sama dengan persediaan 1 Januari sebelum inflasi.
* Penyesuaian HPP-valuta lokal selanjutnya akan menjadi LC40, jumlah yang diperlukan untuk me-restate persediaan 31 Desember dari LC240 ke LC200.
* Penyesuaian HPP-valuta lokal (LC40) kemudian akan ditranslasikan ke dolar dengan kurs $1,00, mengahasilkan penyesuaian HPP sebesar $40 (LC40x$1,00=$40).

Berdasarkan basis penyesuaian atas inflasi, perusahaan ini menekan laba untuk memperhitungkan kerugian translasi sebesar $29 dan penyesuaian inflasi HPP sebesar $40 jadi total $69, atau 34% dari persedaaan awal 1 januari, $200. Padahal inflasi sebenarnya cuma 20%. Anomali ini disebabkan oleh “double-dipping”. Dalam penghitungan dolar dia atas telah terjadi suatu duplikasi parsial antara kerugian devaluasi valuta yang merupakan akibat dari inflasi dan penyesuaian inflasi antara HPP, yang merupakan penyebab devaluasi valuta. Penyesuaian infalsi HPP dalam metode restate-translate tidak hanya menutupi laju inflasi AS (6%) tetapi juga perbedaan 14% inflasi antara 20% tingkat inflasi negara tersebut dengan 6% tingkat inflasi AS—dimana perbedaan tersebut mengakibatkan 12% devaluasi. Kesimpulan nya bahwa jika biaya penjualan disesuaikan untuk menghilangkan unsur inflasi negara lokal, kita perlu membalikkan setiap kerugian translasi yang telah tercermin dalam laba “seperti dilaporkan” .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar